Sentralkaltim.id, Samarinda – Upaya menjaga masa depan lingkungan hidup di Kalimantan Timur semakin diperkuat dengan selesainya penyusunan laporan akhir Raperda Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. DPRD Kaltim menekankan bahwa regulasi terbaru ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk menahan laju kerusakan ekologis yang terus meningkat di daerah kaya sumber daya alam tersebut.
Ketua Pansus Lingkungan DPRD Kaltim, Guntur, menjelaskan bahwa kondisi lingkungan sekarang sudah jauh lebih kritis dibanding satu dekade lalu, sehingga aturan yang ada tidak lagi memadai untuk menjadi sandaran penegakan hukum.
“Laju kerusakan lingkungan hidup di Kaltim berjalan cepat. Perda ini harus menjadi perangkat untuk menghentikan kerusakan dan mengendalikan pencemaran secara komprehensif,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa sejumlah Perda sebelumnya telah tertinggal dari realita lapangan dan perkembangan regulasi nasional. Dampaknya, banyak persoalan pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak dapat ditindak secara optimal.
“Banyak keluhan dari masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata. Perda lama tidak lagi sanggup menjawab kompleksitas masalah sekarang,” ujarnya.
Untuk memastikan regulasi baru benar-benar menyentuh persoalan di akar rumput, Pansus melakukan berbagai kajian intensif, mulai dari koordinasi antarinstansi hingga kunjungan lapangan ke berbagai daerah terdampak.
“Hasil pembahasan ini kami lakukan dengan mempertimbangkan kondisi lapangan yang kami tinjau langsung. Kami ingin Perda ini bukan sekadar normatif, tetapi solutif,” tambah Guntur.
Salah satu perubahan paling substantif adalah penambahan pasal secara signifikan demi memastikan tidak ada ruang abu-abu dalam penegakan hukum dan tata kelola lingkungan.
“Dari awal hanya 50 pasal, sekarang menjadi 145 pasal. Ini karena banyak aspek yang memang harus diperjelas. Kita tidak ingin ada kekosongan norma,” jelasnya.
Selama ini, banyak kasus pencemaran yang tidak dapat ditindak karena ketiadaan pengaturan teknis. Kontaminasi sungai oleh limbah tambang menjadi contoh bagaimana penegak hukum seringkali tak memiliki landasan pasal yang kuat.
“Ada kasus air sungai tercemar tapi tidak ada pengaturan detail soal penegakan di lapangan, sehingga sulit menjerat. Itulah kenapa banyak pasal harus kami tambah,” ujarnya.
Pansus juga memasukkan perlindungan terhadap kearifan lokal masyarakat adat yang selama ini rentan terdampak aturan yang tidak sesuai dengan konteks sosial budaya.
“Ini yang membuat kami memasukkan muatan lokal. Karena permasalahannya nyata dan harus dijawab dalam Perda,” tegas Guntur.
Ia memastikan bahwa regulasi ini telah melewati proses konsultasi teknis dengan kementerian terkait dan kini menunggu tindak lanjut dari pimpinan DPRD setelah masa kerja Pansus berakhir pada 21 November.
“Secara substansi sudah aman,” ujarnya.
Guntur menegaskan bahwa hasil kerja Pansus kini tinggal difasilitasi Bappeda sebelum akhirnya ditetapkan dalam Paripurna.
“Kalau ini sudah selesai, nanti pimpinan menyerahkan untuk fasilitasi lewat Bappeda. Setelah diterima, kalau memang ada perbaikan sedikit, kita baiki. Kalau tidak, Bappeda yang menyampaikan kepada pimpinan untuk disahkan,” jelasnya.
Selain itu, pengaturan tentang pengecualian pembakaran ladang oleh masyarakat adat juga telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja, sehingga tidak lagi menimbulkan kriminalisasi terhadap praktik tradisional.
“Masyarakat kita di hulu itu kan berladang. Nah, mereka kan tidak boleh membakar. Tapi sesuai UU Cipta Kerja ada pengecualian, boleh membakar tapi dijaga biar tidak melebar kemana-mana,” kata Guntur.
Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud memastikan bahwa proses penguatan regulasi ini telah sesuai alur, tinggal menunggu persetujuan Kemendagri untuk naik ke tahap pengesahan.
“Jadi dinyatakan sudah selesai, tinggal fasilitasi ke Kemendagri. Kalau Kemendagri dianggap itu sudah sesuai, maka kita akan jadikan dari Ranperda menjadi Perda,” pungkasnya














