SENTRALKALTIM.id – Nuansa komunikasi politik semakin terasa gegap gempita saat menjelang Pemilihan Presiden 2024. Seorang Dosen Ilmu Komunikasi dari UPN “Veteran” Yogyakarta, Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si., dalam artikel opini berjudul “Kegaduhan Komunikasi Politik” dijabarkan bahwa atmosfir politik yang semakin intens terlebih lagi calon-calon pemimpin saling menawarkan visi, jargon, dan strategi pemasaran sebagai bentuk persaingan menuju kursi kekuasaan tertinggi.
Pergeseran dalam komunikasi politik menjadi lebih nyata dengan adanya media sosial dan internet. Televisi, media luar ruang, podcast, media sosial, portal berita, dan lembaga survei semuanya menjadi arena kontestasi yang melibatkan pemasaran politik melalui dukungan kaptalisasi dan korporasi. Kesalahan kecil dalam komunikasi dapat memicu respons yang dapat merusak potensi dan kredibilitas calon pemimpin.
“Pergeseran dan corak komunikasi politik begitu nyata jika dibandingkan dengan masa-masa di mana media sosial dan internet belum ada. Semua lini, kemudian menjadi arena kontestasi, khususnya pada ranah komunikasi dan salurannya,” tulis Dr. Basuki dalam artikelnya.
Pasar pemilih menjadi penentu utama dalam proses pemilihan, di mana setiap calon berusaha memenangkan hati dan pikiran masyarakat. Dalam pasar bebas politik seperti ini, emosi dan kegaduhan komunikasi menjadi bagian tak bisa terpisahkan. Calon dan pendukungnya diharapkan untuk tidak terlalu terpengaruh emosional, karena pasar politik cenderung memihak pada yang memiliki strategi dan ketenangan dalam berkomunikasi.
Penulis kembali mengingatkan pada pemilihan presiden sebelumnya, di mana praktik komunikasi politik memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Preferensi politik diungkapkan dalam polarisasi seperti Kapret versus Cebong, Komunis versus Radikal-Kekhalifahan, dan lainnya.
Permainan kata-kata,retorika, argumentasi, dan praktik propaganda menjadi elemen penting dalam komunikasi politik. Artikel menyoroti bahwa era ini telah memasuki post-truth, di mana fakta bukanlah hal mendasar, melainkan bagaimana kata-kata di produksi secara masif untuk memengaruhi opini publik.
Penulis menyoroti bahwa kesalahan kecil dalam komunikasi dapat memicu respons yang merugikan. “Kesalahan dan kesleo lidah sekecil apa pun, akan memunculkan respon dan reaksi, yang dapat dipakai mendistorsi dan medelegitimasi potensi dan kredibilitas setiap calon,” tegasnya.
Kemampuan komunikasi pemilih dalam memahami konteks pesan kampanye menjadi hal yang krusial dalam hal ini, khususnya para “first-voters”. Artikel opini tersebut menegaskan bahwa generasi muda perlu memperhatikan rasionalitas, kekritisan, prioritas kepentingan, kejujuran, dan konsistensi perbuatan calon saat menilai dan memilih pemimpin. Dalam menghadapi dinamika kegaduhan komunikasi politik, Dr. Basuki selalu menyarankan agar generasi muda memilih pemimpin yang memiliki integritas, intelektualitas, dan ketulusan.
Dengan demikian, artikel ini selalu mencerminkan tantangan dalam komunikasi politik menjelang Pemilihan Presiden 2024, di mana kegaduhan dan dinamika pasar politik menjadi faktor utama yang perlu diatasi untuk menjaga keutuhan dan keadilan dalam pesta demokrasi mendatang.
Sumber: Kegaduhan Komunikasi Politik, ditulis oleh Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si. (Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPNYK)