SENTRALKALTIM.ID, Samarinda – Pemerintah Kota (Pemkot) telah memastikan penghentian terhadap seluruh aktivitas pertambangan batu bara di Kota Tepian (julukan samarinda) diproyeksikan mulai 2026 mendatang.
Kebijakan ini ditegaskan sebagai langkah korektif, atas kerusakan lingkungan yang dinilai menjadi penyebab utama banjir tahunan, tanah longsor, hingga degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menyatakan bahwa penghapusan zona tambang merupakan keputusan strategis. Untuk memutus mata rantai bencana, yang selama ini terus berulang.
Ia juga menilai pendekatan teknis penanggulangan banjir tidak akan efektif, selama aktivitas tambang masih berlangsung dikawasan rawan.
“Selama tambang masih berada di kawasan DAS dan lereng curam, upaya pengendalian banjir hanya bersifat sementara,” tegas pria yang acap kali disapa AH, pada Sabtu (27/12/2025).
AH bilang, melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Samarinda tahun 2022–2042. Pemkot telah menetapkan arah pembangunan kota berbasis perdagangan dan jasa.
Hal tersebut juga sekaligus mendorong Kota Tepian, untuk segera meninggalkan sektor ekstraktif yang berisiko tinggi, terhadap keselamatan lingkungan dan masyarakat.
Selain itu AH juga memastikan, Pemkot Samarinda tidak akan memperpanjang izin usaha pertambangan. Baik Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Kebijakan ini, kata dia, merupakan bentuk komitmen untuk menertibkan tata ruang dan menjaga daya dukung lingkungan kota.
AH menegaskan, persoalan utama bukan hanya keberadaan tambang, melainkan praktik di lapangan yang kerap melanggar prinsip keselamatan lingkungan. Pasalnya, aktivitas pengupasan lahan di sekitar sungai, lereng, dan kawasan rawan dinilai memperparah risiko bencana.
“Wilayah DAS itu tidak boleh disentuh sama sekali. Jangan beri izin pengupasan lahan di area yang jelas-jelas berisiko,” ujarnya.
AH juga menyoroti lemahnya pelaksanaan reklamasi pascatambang. Banyaknya lubang bekas tambang yang terbengkalai menunjukkan minimnya pengawasan, meski regulasi dan kaidah teknik pertambangan telah diatur secara tegas.
Karena pengawasan pertambangan selama ini cenderung bersifat reaktif. Penindakan baru dilakukan setelah bencana terjadi atau saat sorotan publik menguat, namun melemah ketika perhatian mereda.
Pemkot Samarinda, lanjut AH, tidak akan menerbitkan izin pertambangan yang bertentangan dengan RTRW dan RDTR. Jika setelah 2026 masih terdapat izin pertambangan di wilayah Samarinda, kewenangannya berada di luar pemerintah kota.
“Kalau izin galian C keluar, itu kewenangan provinsi. Izin minerba ada di pemerintah pusat. Yang jelas, tidak boleh lagi ada izin yang bertentangan dengan RTRW,” pungkasnya.














