Kota Samarinda

LBH PC PMII Kota Samarinda Mega Proyek Tragis Kota Peradaban

149
×

LBH PC PMII Kota Samarinda Mega Proyek Tragis Kota Peradaban

Sebarkan artikel ini
Rahmad Danan (LBH PC PMII SAMARINDA)

SENTRALKALTIM.id, Samarinda – Kota Samarinda sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur merupakan kota yang pasti berkembang pesat dengan potensi luar biasa. Sebagai pusat pemerintahan, bisnis, dan perdagangan di Kaltim , Samarinda terus berbenah diri untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat nya.

Pembangunan di Samarinda dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk mewujudkan visi kota sebagai pusat peradaban. Hal ini terlihat dari berbagai proyek infrastruktur seperti peningkatan kualitas jalan, pengendalian banjir, jembatan, dan ruang publik yang terus digarap.

Tidak terlepas dari salah satu pembangunan yang sedang berjalan yaitu proyek Terowongan Samarinda yang di gadang-gadang sebagai salah satu proyek mercusuar dari pemerintah kota samarinda.

proyek ini juga disebut sebagai solusi kemacetan dan peningkatan konektivitas di Kota Samarinda, namun kembali menimbulkan masalah.

Kali ini, muncul dari proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang belum rampung sebagaimana yang tertuang dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal, meskipun revisi telah dilakukan berulang kali.

Demikian juga dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan sebagai Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.

Situasi ini memicu kekhawatiran publik terkait potensi dampak lingkungan dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Tertundanya penyelesaian Amdal mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap aspek legalitas dan akuntabilitas kepada lingkungan di Kota Samarinda. Sesuai regulasi, Amdal wajib diselesaikan sebelum dimulainya proyek, sebagai bentuk antisipasi dan mitigasi dampak lingkungan yang mungkin terjadi.

Lebih memprihatinkan lagi, polemik ini menunjukkan buruknya koordinasi dan perencanaan di tingkat pemerintah. Proyek besar seperti Terowongan Samarinda seharusnya melalui kajian dan perencanaan matang, dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat.

Terjadinya revisi berulang kali menunjukkan ketidakmatangan dan ketidaksiapan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.

Dampak dari kelalaian ini tak hanya merugikan proses pembangunan, tetapi juga berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Masyarakat berhak mendapatkan kepastian bahwa proyek-proyek besar dijalankan dengan benar, sesuai aturan, dan mengedepankan aspek lingkungan dan sosial.

Polemik Amdal Terowongan Samarinda harus menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola pembangunan di Samarinda.

Ini bukan hanya tentang terowongan, tetapi tentang komitmen pemerintah dalam membangun kota yang berkelanjutan, akuntabel, dan mengedepankan kepentingan masyarakat.

Masyarakat pun harus terus mengawasi dan menyuarakan aspirasinya, demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan.

Jelas terdapat konsekuensi hukum bagi para pihak yang mengeluarkan izin lingkungan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dalam pasal 109 dan 111 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menjelaskan “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Selain itu juga Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Sedangkan Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Terdapat banyak kritikan yang selalu menjadi catatan buruk untuk pemerintah kota samarinda, mulai dari proyek yang tidak tepat waktu, pengawasan yang kurang ketat, dan ketidaksiapan pemerintah Kota Samarinda dalam menangani persoalan persoalan yang mendasar.

LBH PC PMII Samarinda sebagai bagian dari masyarakat Kota Samarinda tentu akan turut serta mengawasi setiap persoalan dan melakukan pendampingan agar dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara Pemerintah senantiasa berorientasi pada kemaslahatan masyarakat ketimbang kepentingan korporat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *