Scroll untuk baca artikel
Berita

Arus Besar ke Gerindra, Dosen Unmul: Demokrasi Tidak Boleh Jadi Monokrom

5
×

Arus Besar ke Gerindra, Dosen Unmul: Demokrasi Tidak Boleh Jadi Monokrom

Sebarkan artikel ini
Dosen Fisip Unmul, Jumansyah.

SENTRALKALTIM.ID, Samarinda – Gelombang perpindahan sejumlah elit politik Kaltim ke Partai Gerindra, dinilai sebagai tanda buramnya batas ideologi dan menguatnya pragmatisme kekuasaan.

Pernyataan itu disampaikan oleh Pengamat Politik FISIP Universitas Mulawarman, Jumansyah. Setelah menanggapi langkah Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Aulia Rahman Basri, Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Mudyat Noor, Bupati Mahakam Ulu (Mahulu), Angela Idang Belawan, hingga mantan Ketua DPRD Berau, Mandri Pani, yang beramai-ramai bertambat ke Gerindra.

Menurut Jumansyah, fenomena ini bukan sekadar manuver personal, tetapi cerminan perubahan kultur politik dari pusat hingga daerah.

“Hari ini batas ideologi partai makin abu-abu. Elit politik tidak lagi melihat orientasi ideologi, tapi siapa tokoh dan partai yang paling kuat menyokong agenda mereka ke depan,” ujarnya, saat ditemui di ruang kerjanya, Kampus Fisip Unmul, Jalan Gunung Kalua, Samarinda, pada Senin (24/11/2025).

Jumansyah menjelaskan, secara historis perpindahan partai memang bukan hal yang tabu. Tetapi, pola perpindahan yang seragam menuju partai yang tengah dominan menunjukkan kecenderungan baru yakni “Politik Naungan.

Para elit, terutama kepala daerah dan mantan pejabat publik, memilih mencari “Rumah Politik” yang dianggap paling kuat mengamankan kepentingan mereka pada masa mendatang.

Selain itu, Jumansyah menilai bahwa pragmatisme politik saat ini, tengah dipengaruhi oleh dominasi satu partai hingga ke daerah.

“Ketika partai tertentu menguasai dari pusat ke daerah, muncul kecenderungan menghapus oposisi atau membuat oposisi jadi abu-abu. Ini bahaya, karena demokrasi bisa kehilangan arena pertarungannya.” imbuhnya.

Jumansyah juga menegaskan seyogianya, demokrasi bukan diukur oleh kepentingan elit partai, melainkan oleh masyarakat sebagai fondasi utamanya. Namun, ketika seluruh energi politik diarahkan ke satu kutub kekuasaan, maka partai-partai lain semakin kehilangan ruang hidup.

Fenomena ini, kata dia, justru memperlihatkan melemahnya kaderisasi. Tokoh yang bertahan, dan tumbuh dari partai sejak awal kini semakin langka. Sebaliknya, elit politik lebih memilih berpindah mengikuti arah angin kekuasaan.

“Ini problem utama kita. Ketika semua orientasinya bukan lagi ideologi, tapi siapa yang sedang berkuasa, maka demokrasi makin rapuh. Jangan sampai dominasi satu partai mencederai arena pertarungan politik yang seharusnya sehat.”

Jumansyah juga mengingatkan bahwa manuver besar-besaran menuju Gerindra menunjukkan, adanya rasa kekhawatiran elit yang cukup besar menghadapi kontestasi ke depan. Termasuk kemungkinan, melemahnya partai-partai kecil yang makin tidak diperhitungkan oleh aktor-aktor politik daerah.

Diakhir, Dosen pengampuh mata kuliah Pengantar Ilmu Poltik itu mengungkapkan, meski perpindahan partai adalah hak politik setiap tokoh. Akan tetapi, demokrasi yang baik itu sejatinya menuntut keberagaman posisi, bukan barisan tunggal yang seragam.

Penulis: Tim Redaksi Editor: KS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *