SENTRALKALTIM.ID, Sangatta — Kutai Timur (Kutim) menghadapi persoalan fundamental dalam rantai pasokan imbas ketergantungan total pada suplai dari luar daerah. Seluruh kebutuhan pokok yang sehari-hari dikonsumsi warga harus melalui rute distribusi panjang sebelum tiba di pasar lokal. Dalam struktur seperti itu, harga yang mahal bukanlah anomali, tetapi konsekuensi sistemik.
Pejabat Fungsional Pengawas Perdagangan Ahli Muda Disperindag Kutim, Achmad Dony Erviady, menjelaskan bahwa daerah tersebut nyaris tidak memiliki komoditas pangan utama dalam skala industri. Sehingga ketika suplai didatangkan dari pulau Jawa, Sulawesi, atau dari Samarinda, biaya logistik yang panjang dan berlapis menjadi faktor yang tak terhindarkan.
“Barang kita tidak datang dari dalam daerah, jadi ongkosnya bertingkat,” ucapnya.
Dalam kajian distribusi wilayah konsumtif, tiga lapis beban biaya selalu muncul: pengiriman dari titik produksi, bongkar muat dan administrasi pelabuhan, lalu distribusi darat menuju kecamatan.
“Kutim yang terbentang jauh dan terhubung antarwilayah melalui perjalanan yang memakan waktu panjang secara otomatis menanggung beban logistik tersebut,” ungkap Dony.
Fenomena harga yang tinggi bukan hanya terjadi pada sembako, tetapi juga bahan bangunan, tepung, hingga kebutuhan dapur. Kondisi ini membuat pasar Kutim bergantung pada stabilitas suplai, bukan pada mekanisme harga. Warga cenderung menilai ketersediaan barang sebagai indikator utama keamanan ekonomi, sebuah pola konsumsi yang muncul di daerah dengan distribusi rentan.
Dony menyebut bahwa pemerintah perlu memperkuat fondasi logistik agar ketergantungan ini tidak selamanya menekan daya beli. Percepatan fasilitas pelabuhan, peningkatan efisiensi distribusi, serta perjanjian pasokan wilayah menjadi bagian dari solusi struktural jangka panjang.
“Kalau jalur distribusi kita makin efisien, beban biaya itu bisa terpangkas dan masyarakat merasakan hasilnya,” kata Dony menutup wawancara.














