SENTRALKALTIM.ID, Sangatta — Di Kutai Timur (Kutim), pembenahan bantuan sosial tidak dimulai dari perangkat komputer di kantor kabupaten, melainkan dari rumah-rumah sederhana di desa-desa. Di tempat-tempat itulah perangkat desa mencatat perubahan ekonomi warganya, sering kali sambil mendengar keluhan secara langsung. Bagi Dinas Sosial, ruang sosial seperti itu menjadi sumber informasi paling jujur yang tidak dapat digantikan oleh formulir digital atau laporan tabel angka.
Kepala Dinsos Kutim, Ernata Hadi Sujito, mengatakan bahwa desa telah lama menjadi unit pemerintahan yang paling dekat dengan denyut kehidupan masyarakat.
“Kalau kita bicara bansos, yang paling mengerti situasi itu bukan kami di kabupaten. Perangkat desa tahu siapa yang baru kehilangan pekerjaan, siapa yang sakit lama, dan siapa yang sebenarnya sudah tidak lagi layak menerima bantuan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kualitas data desa mencerminkan kualitas komitmen sosial komunitas setempat.
“Kalau desa berani jujur pada kondisi sebenarnya, maka kebijakan di atasnya akan jauh lebih adil,” katanya.
Ernata menyoroti bahwa sebagian masalah penyaluran selama ini muncul karena warga enggan melapor perubahan status ekonomi, dan perangkat desa tidak melakukan inspeksi ulang. Akibatnya, data tidak bergerak, dan bantuan salah sasaran.
“Bukan karena niat buruk. Banyak perangkat desa kewalahan karena wilayahnya luas atau tenaga terbatas,” ungkapnya.
Bagi Dinsos, pendataan bukan sekadar daftar nama penerima, melainkan potret relasi sosial dalam komunitas seperti siapa saling membutuhkan, siapa saling menopang. Karena itu, ia mendorong agar musyawarah desa diaktifkan kembali sebagai ruang evaluasi bansos berbasis komunitas.
“Kalau warga terlibat, datanya akan lebih dekat dengan kenyataan,” pungkas Ernata. (ADV/Diskominfo Kutim/—)














