Sentralkaltim.id – DPRD Samarinda menyoroti kebijakan pengelolaan koperasi sekolah di Kota Tepian.
Komisi IV DPRD Samarinda menemukan sejumlah temuan yang mengkhawatirkan terkait praktik jual beli seragam sekolah yang tidak terkontrol, tanpa regulasi yang jelas.
Kondisi ini telah menambah beban ekonomi bagi orang tua siswa, dengan harga seragam yang dapat mencapai hampir Rp2 juta per siswa.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Abdul Muis.
Ia menegaskan bahwa koperasi sekolah seharusnya tidak berorientasi pada keuntungan semata, apalagi sampai membebani masyarakat.
“Ini uang rakyat yang dikelola, bukan bisnis swasta,” ujar Abdul Muis, belum lama ini.
Menurut Muis, masalah ini terjadi akibat lemahnya kontrol dan pengawasan dari pemerintah daerah terhadap aktivitas unit usaha pendidikan.
Selama ini, perhatian pemerintah lebih terfokus pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB), sementara persoalan yang lebih mendasar, seperti pengelolaan koperasi, justru terabaikan.
Praktik ini, lanjutnya, berpotensi merugikan masyarakat jika tidak ada kebijakan yang jelas mengenai Standar Satuan Harga (SSH) untuk barang yang dijual koperasi.
Muis menilai, pembahasan mengenai SSH baru saja dimulai sementara penjualan seragam sudah berjalan.
Selain itu, Muis juga menyoroti peran pegawai negeri dalam operasional koperasi sekolah.
Pegawai yang digaji oleh negara, menurutnya, tidak seharusnya mengelola koperasi dengan orientasi bisnis yang bisa bertentangan dengan prinsip pelayanan publik.
“Perlu adanya audit yang transparan untuk memastikan bahwa koperasi sekolah menjalankan usahanya sesuai dengan kepentingan pendidikan dan tidak merugikan siswa serta orang tua,” ungkap Muis.
Komisi IV DPRD Samarinda mendesak pemerintah kota untuk segera memperjelas batasan operasional koperasi sekolah.
Regulasi yang lebih ketat dan terarah akan mencegah praktik komersialisasi pendidikan yang terselubung dan memastikan koperasi tetap menjalankan fungsinya untuk membantu kesejahteraan siswa dan orang tua.
Tanpa pengawasan yang lebih ketat, Muis mengkhawatirkan bahwa praktik ini akan terus berulang setiap tahun.
“Jika tidak ada efek jera, praktik seperti ini akan menjadi budaya yang merugikan masyarakat,” pungkasnya.
Ia berharap agar setiap kebijakan yang diambil pemerintah dapat lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat, khususnya orang tua yang menjadi mitra dalam proses pendidikan anak-anak mereka. (adv)