Opini

Stigma LGBT Dalam Entitas Paradigma Di Indonesia

598
×

Stigma LGBT Dalam Entitas Paradigma Di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Ema Karisma Wati, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

SENTRALKALTIM.id, Samarinda – Isu Kesetaraan Gender kerap kali disalah artikan menjadi landasan bagi pejuang Hak Asasi Manusia atas kebenaran sepihak.

Kesetaraan Gender sebagai perlindungan bagi korban-korban kekerasan, diskriminasi, subordinasi, stereotip dan beban kerja bagi kaum-kaum yang termarjinalkan, justru seringkali menjadi perisai atas perbuatan illegal dalam norma-norma yang berlaku.

Masyarakat sebagai poros dari pemerintahan dalam mendukung setiap Keputusan memiliki peran penting dalam membantu pemerintah untuk dapat menangani Patologi yang terjadi dimasyarakat.

Tak terkecuali dengan Maraknya isu terkait “homoseksual atau LGBT” menoreh daftar Panjang pekerjaan pemerintah Indonesia yang memiliki keberagaman keyakinan seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Hal ini Berbeda dengan Negara Thailand dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, stigma terkait LGBT tidaklah asing bagi mereka, sehingga puncaknya dilansir CNBC Indonesia bahwa melalui suara parlemen dan undang-undang telah melegalkan Pernikahan sesama jenis sebagai wujud dukungan atas kaum LGBT

hal ini tentu menjadi perhatian dunia dan menjadi antisipasi bagi negara-negara yang kontra atas keberadaan kaum minoritas ini.

Fenomena LGBT di Indonesia secara khusus menjadi momok besar yang harus segera ditangani. Berkaca dengan Empat kasus besar yang terjadi di tahun 2017 terkait dengan LGBT diantaranya Pesta Gay Kelapa Gading, Hukum Cambuk Pasangan Gay Aceh, Pernikahan Gay di Bali dan Pesta Gay Surabaya.

Peristiwa-peristiwa ini menjadi cambuk bagi Indonesia untuk segera menuntaskan permasalahan ini, tapi faktanya sampai hari ini isu LGBT menjadi buah bibir dan pikir bagi seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) dan masyarakat.

Praktek-praktek pecinta sesama jenis ini tidak berhenti sampai disini saja, ternyata semakin hari semakin bertambah misalnya saja pada tahun 2022 dikota Samarinda khususnya terdapat 380 Kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada korban/pelaku homoseksual yang disebabkan oleh penularan dari gaya hidup dan perilaku menyimpang.

Pada tahun 2023 temuan baru yang diantaranya kasus pencabulan anak dikota Pekanbaru berjumlah empat orang anak dibawah umur yang dilakukan oleh seorang tersangka laki-laki dewasa berusia 26 tahun.

Kasus ini menjadi bukti bahwa maraknya kebebasan yang diberikan pemerintahan dalam menentukan jati diri serta kebaikan bagi diri manusia telah banyak melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat dan dimata hukum.

Nyatanya, perbuatan ini bertentangan dengan norma kemasyarakatan, norma hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 414 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai wujud pemerintah melarang keras perbuatan LGBT dan penyimpangannya, serta paling utama perbuatan ini akan menimbulkan dosa besar karena telah melanggar norma agama sebagaimana dalam agama islam tertuang dalam QS Al-Ankabut: 28-31 menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan perbuatan keji (homoseksual) mendatangi laki-laki (untuk melampiaskan syahwat), menyamun, dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan mereka.

Serta dijelaskan pada ayat ke-31 bahwa “Ketika utusan-utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan membinasakan penduduk negeri ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang zalim”.

Selanjutnya terdapat pula penelitian terkait kaum ini yaitu pada penelitian Mansur pada tahun 2017 menyatakan bahwa tidak hanya agama Islam saja yang melarang perbuatan LGBT melainkan juga agama Kristen (Katolik dan Protestan)

Sedangkan untuk agama Hindu, Buddha dan Konghucu tidak terlalu keras dalam melarang homoseksual dan LGBT. Walaupun banyak pihak yang berdalih penyitas LGBT memiliki hak atas perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), perlu diketahui bahwa negara indonesia sebagai negara hukum yang juga berlandaskan pada norma-norma yang berlaku dimasyarakat sebagai wujud kebhinekaan.

Sehingga secara norma agama perbuatan ini ialah hal yang salah dan menyimpang.

Dalam sudut pandang Kantian Deontologist, LGBT merupakan perilaku menyimpang, perilaku yang melanggar etika dan moral, perilaku yang tidak rasional namun dianggap rasional secara subjektif, sehingga jika dilihat secara objektifitas hukum dan norma yang berlaku, Fenomena ini tidak dapat dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) secara utuh, karena Hak Asasi Manusia ialah hak yang tidak akan terlepas dari norma agama yang diakui dimasyarakat.

Meskipun bagi Sebagian pihak mewajarkan perbuatan LGBT dan dianggap rasional, akan tetapi dalam paradigma Deontologist hal ini tidak memiliki artian apapun, melainkan seluruh pihak harus patuh pada kebijakan yang berlaku.

Sebagaimana dalam jurnal Hamzah bahwa konsep Deontologist menyatakan setiap perbuatan selalu dibarengi dengan konsekuensi, namun konsekuensi bukanlah landasan dalam mempertimbangkan baik buruknya hasil.

Akan tetapi, karena ada suatu keharusan atas perilaku manusia dalam setiap aktivitasnya yang tidak bisa ditawar lagi sebagai suatu kewajiban atas tindakan manusia bukan sekedar suatu anggapan “baik” bagi satu pihak saja melainkan harus mengikuti kewajiban secara utuh sebagai warga negara dalam menganut hukum dan norma.

Keberadaan pemerintah dan Masyarakat menjadi penentu dalam mendukung penanganan perilaku menyimpang ini. Tindakan yang dilakukan sudah seharusnya memperjuangkan kesembuhan Korban/Pelaku dari perbuatan menyimpang ini tanpa terkecuali.

Karena tanpa ada peran yang Collaborative maka hal ini tidak akan terwujud dan apabila terus-terusan kita ‘memaklumi’ patologi ini, akan mengakibatkan berbagai macam resiko yang harus diterima, seperti dilansir health.com terkait dampak Kesehatan yaitu Infeksi Menular Seksual (IMS), Kekerasan, Penyalahgunaan Zat, Kesehatan Mental, Obesitas dan Gangguan Makan, Kankeer Payudara dan Serviks dan Penyakit Jantung.

Serta hal ini juga akan berdampak fatal apabila semakin maraknya kampanye-kampanye LGBT baik secara langsung maupun secara khusus di media sosial, dampak yang ditimbulkan ialah akan menambah daftar kasus anak-anak yang terperangkap dalam perilaku seks menyimpang ini.

Di Indonesia dengan adanya peraturan UU No.1 tahun 2023 KUHP Pasal 414 merupakan Keputusan Tegas Pemerintah dalam menangani persoalan LGBT.

Patologi ini memerlukan penanganan khusus yang harus melibatkan seluruh elemen Pemerintahan, LGBT yang dikelompokkan dari unsur Lesbian, gay, beseksual dan transgender tidak dapat ditangani dengan pola yang keras melainkan harus ditangani dengan pola psikologis dan agamis.

Hasil study Tambunan menyebutkan bahwa Di Amerika Serikat Tindakan penanganan LGBT sebenarnya telah dicanangkan sejak sekitar tahun 1992 yaitu National Asosiasi Penelitian dan Terapi Homoseksualitas (NARTH) sebagai wadah edukasi yang didedikasikan sebagai ruang observasi, terapi dan pencegahan homoseksualitas.

Sistem Collaborative Governance dalam pendekatan Normative sebagai cara yang dapat digunakan pemerintah Indonesia dalam memfasilitasi publik secara deliberative untuk memecahkan masalah-masalah kronis dan membangun kepercayaan Masyarakat dan pemangku kepentingan.

Seperti dengan Melibatkan dan mendengarkan korban/pelaku serta para Pakar, Psikolog dan Masyarakat untuk berkolaborasi dalam penanganan patologi ini.

Begitupula dalam hal Melindungi dan memfasilitasi hak atas Kesehatan, Pendidikan dan hak dasar lainnya sebagai warga negara yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Yang tidak kalah penting yaitu Menggandeng Lembaga Penyiaran untuk dapat menyaring konten yang beredar di media sosial agar tidak menambah Kampanye terkait LGBT di Indonesia serta Memberikan Edukasi dan menumbuhkan kesadaran individual bagi para korban/pelaku LGBT.

Paling utama dalam mengatasi persoalan ini ialah Menggandeng Keluarga dan Masyarakat sekitar untuk dapat membantu korban/pelaku LGBT dengan merangkul dan menuntunnya kembali kejalan yang benar, dapat dilakukan melalui pemberian pencerahan secara agamis dari dalam lingkungan keluarga, dari ustad atau tokoh keagamaan dan dirangkul oleh tetangga disekitarnya.

Artinya dengan adanya collaborative governance yang deliberative oleh pemerintah untuk mendengarkan, merangkul dan tidak mengucilkan korban/pelaku LGBT serta memberikan himbauan dan larangan dalam patologi ini tentu akan membangun keberhasilan dalam mengurangi patologi yang selama ini meresahkan Masyarakat dan pemerintah secara umum.

 

EMA KARISMA WATI

Mahasiswa Magister Administrasi Publik

Fakultas Ilmu Sosial Imu Politik

Universitas Mulawarman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *